Review Film The Longest Ride

review-film-the-longest-ride

Review Film The Longest Ride. Pada 24 Oktober 2025, tepat satu dekade setelah The Longest Ride tayang perdana di bioskop, film romansa ini kembali jadi topik hangat di kalangan penggemar Nicholas Sparks, didorong rewatch massal di platform streaming yang tembus 50 juta view bulan lalu. Adaptasi novel Sparks 2013 karya sutradara George Tillman Jr., film ini campur cerita cinta muda-mudi kontemporer dengan kisah masa lalu yang mengharukan, bikin penonton campur tawa dan air mata. Dibintangi Scott Eastwood sebagai bintang rodeo Luke Collins dan Britt Robertson sebagai mahasiswi seni Sophia Danko, film ini raih 79 juta dolar global dari budget 34 juta dolar, meski kritik campur aduk dengan skor 30 persen di Rotten Tomatoes—tapi audiens beri 55 persen, anggap predictable tapi menyentuh. Di era romcom digital yang cepat, The Longest Ride ingatkan nilai cerita dual timeline: dua pasangan, satu tema abadi tentang cinta yang bertahan badai. Dengan Eastwood dan Robertson kini sibuk proyek baru, review ulang ini bukti film Sparks tetap relatable—petualangan hati yang sederhana tapi dalam, ajak penonton renungkan apa arti “the longest ride” dalam hidup. MAKNA FILM

Plot Dual Timeline: Cinta Muda vs Warisan Masa Lalu yang Menyatu: Review Film The Longest Ride

Cerita The Longest Ride dibangun di dua garis waktu yang saling terkait, seperti dua roda sepeda motor yang berputar sinkron—cerita modern Luke dan Sophia paralel dengan kisah Ira Levinson (Alan Alda) dan istrinya Ruth (Oona Chaplin sebagai versi muda). Luke, mantan juara rodeo yang mundur setelah cedera, bertemu Sophia di acara lelang seni; keduanya jatuh cinta cepat, tapi karir rodeo Luke bentrok dengan mimpi seni Sophia. Sementara itu, flashback Ira ungkap romansa 1940an: pemuda Yahudi yang selamat perang dunia kedua bertemu Ruth, dan perjuangan mereka bangun hidup di tengah diskriminasi.

Dual timeline ini jadi kekuatan: adegan modern penuh energi rodeo—seperti Luke naik banteng liar di bawah lampu sorot—kontras dengan hitam-putih lembut Ira dan Ruth di pantai Carolina Utara. Sparks pintar sisip misteri: kotak surat cinta Ira yang ditemukan Luke setelah kecelakaan, jadi jembatan dua cerita. Plot predictable—cinta terhalang ambisi, tapi bertahan—tapi eksekusi Tillman bikin emosional: klimaks saat Sophia baca surat Ira, sadar cinta sejati butuh pengorbanan. Fakta, novel Sparks jual 1 juta kopi sebelum film rilis, dan dual structure ini mirip The Notebook-nya Sparks sendiri. Di 2025, dengan rewatch naik 25 persen di kalangan milenial, plot ini tetap segar: ajar bahwa cinta masa lalu bisa selamatkan masa kini, tanpa terlalu manis.

Akting dan Karakter: Chemistry yang Hangat dan Penjiplakan Emosi: Review Film The Longest Ride

Akting jadi jantung The Longest Ride, di mana chemistry Eastwood-Robertson bikin pasangan Luke-Sophia terasa nyata, seperti dua remaja biasa yang jatuh cinta di rodeo. Eastwood, putra Clint Eastwood, bawa karisma cowboy yang rugged tapi lembut—senyumnya saat ajak Sophia dansa di bar jadi momen manis yang bikin penonton tersenyum. Robertson, dengan mata ekspresifnya, gambarkan Sophia sebagai wanita ambisius tapi rentan; adegan ia ragu karir seni vs cinta terasa autentik, tanpa overact.

Alan Alda sebagai Ira tua curi perhatian: mata lelahnya ungkap penyesalan 40 tahun pernikahan, sementara Jack Huston dan Oona Chaplin beri kedalaman masa lalu—Huston sebagai Ira muda penuh semangat Yahudi pasca-perang, Chaplin sebagai Ruth yang tangguh tapi romantis. Ensemble pendukung seperti Melissa Leo sebagai ibu Luke tambah lapisan keluarga. Fakta, Eastwood nominasi Teen Choice Award untuk chemistry-nya, dan Alda puji Sparks karena kasih ruang karakternya renung. Di 2025, dengan Eastwood sibuk Deadpool & Wolverine, akting ini tetap highlight: tak ada bintang besar, tapi penjiplakan emosi bikin penonton rasakan ride panjang cinta—dari gairah awal hingga komitmen abadi.

Sinematografi dan Musik: Visual Hangat dan Soundtrack yang Menyentuh

Sinematografi George Tillman Jr. beri nuansa hangat Carolina Utara yang romantis: sinar matahari senja di ladang kuda, slow-motion rodeo yang bikin adrenalin naik, dan close-up surat Ira yang pudar tapi penuh emosi. Dua timeline kontras: modern berwarna cerah dengan lensa wide untuk lautan rumput, masa lalu hitam-putih sepia untuk nostalgia perang. Musik jadi penyatu: soundtrack Aaron Zigman campur country-pop seperti “Like a Cowboy” dari The Bellamy Brothers, tapi original score piano lembut di adegan Ira bikin air mata netes. Fakta, film ini raih 37 juta dolar domestik, sebagian besar dari visual rodeo yang ikonik, dan Zigman nominasi BMI Award untuk score.

Di 2025, dengan streaming 4K, detail seperti debu rodeo atau lipatan surat terlihat lebih hidup, tambah imersi. Sinematografi ini tak mewah seperti Sparks’ The Notebook, tapi efektif: ajar bahwa ride panjang cinta penuh momen kecil—dans a di bar, surat di hujan, atau pelukan setelah badai. Musik dan visual bikin film terasa seperti album foto hidup, di mana setiap frame renungkan arti bertahan.

Kesimpulan

Review The Longest Ride pada 24 Oktober 2025 ini bukti kenapa adaptasi Sparks tetap abadi: plot dual timeline yang menyatu, akting hangat yang jiplak emosi, dan sinematografi-musik yang beri nuansa romansa panjang. Film ini predictable tapi menyentuh—skor 6.9 IMDb bukti audiens suka meski kritik bilang formulaik. Di era romcom cepat, The Longest Ride ajar cinta butuh waktu dan pengorbanan, seperti ride tak berujung. Rewatch sekarang; mungkin Anda temukan alasan baru kenapa Luke dan Sophia inspirasi. Siapa tahu, film ini bawa pesan baru—atau tetap setia pada janji Sparks: cinta sejati selalu bertahan.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *