Review Dari Film Sumala. Film Sumala, yang dirilis pada September 2024 dan kini menduduki peringkat teratas di Netflix Indonesia, telah menjadi perbincangan hangat di kalangan penggemar horor. Disutradarai oleh Rizal Mantovani dan diangkat dari urban legend Semarang yang viral di media sosial, film ini mengisahkan perjanjian kelam dengan iblis yang melahirkan teror berdarah. Dibintangi oleh Luna Maya, Darius Sinathrya, dan pendatang baru Makayla Rose Hilli, Sumala menawarkan pengalaman horor yang sarat dengan adegan gore dan tema parenting yang mendalam. Namun, apakah film ini benar-benar mampu menghadirkan kengerian sejati atau justru terjebak dalam ambisi berlebihan? Berikut ulasan lengkap tentang kekuatan, kelemahan, dan daya tarik Sumala. BERITA BOLA
Sinopsis dan Latar Cerita
Sumala berpusat pada pasangan suami-istri, Sulastri (Luna Maya) dan Soedjiman (Darius Sinathrya), yang tertekan karena belum memiliki anak setelah bertahun-tahun menikah. Di tengah ancaman perceraian dari Soedjiman, Sulastri nekat membuat perjanjian dengan iblis untuk mengandung anak. Hasilnya adalah kelahiran dua anak kembar: Kumala, yang cacat fisik, dan Sumala, yang berwujud mengerikan. Karena malu, Soedjiman membunuh Sumala saat bayi, sebuah tindakan yang memicu kutukan mengerikan. Bertahun-tahun kemudian, roh Sumala kembali, memiliki Kumala (Makayla Rose Hilli), dan melancarkan balas dendam berdarah terhadap keluarga dan desa yang telah menyakitinya. Cerita ini diambil dari legenda urban di Semarang, di mana warga percaya Sumala masih menghantui anak-anak yang keluar setelah magrib.
Kekuatan Film
Salah satu daya tarik utama Sumala adalah penampilan memukau Makayla Rose Hilli sebagai Kumala dan Sumala. Hilli mampu bertransisi dari anak yang polos dan menderita menjadi sosok yang menyeramkan dengan penuh keyakinan, mencuri perhatian di setiap adegan. Visual film ini juga patut diacungi jempol, dengan sinematografi yang menangkap suasana kelam desa Semarang era 1940-an hingga 1970-an. Penggunaan elemen budaya Jawa, seperti pakaian tradisional dan rumah joglo, menambah kedalaman atmosfer. Adegan gore, meski terkadang berlebihan, dihadirkan dengan efek praktis yang cukup realistis, seperti pembunuhan brutal yang membuat penonton bergidik. Tema parenting dan kekejaman sosial terhadap anak-anak dengan disabilitas memberikan lapisan emosional yang membuat penonton bersimpati pada Kumala, sekaligus merasa puas saat Sumala melancarkan aksi balas dendamnya. Musik latar karya Ricky Lionardi juga berhasil membangun ketegangan, terutama dalam adegan puncak yang penuh darah.
Kelemahan Film: Review Dari Film Sumala
Meski memiliki premis kuat, Sumala tersandung dalam beberapa aspek. Pacing film terasa tidak merata, dengan babak pertama yang terlalu lama menggambarkan penderitaan Kumala, membuat penonton kehilangan kesabaran sebelum aksi horor dimulai. Durasi hampir dua jam terasa berlarut-larut, terutama karena kurangnya twist yang mengejutkan. Akting Darius Sinathrya sebagai Soedjiman terasa kaku dan berlebihan, membuat karakternya sulit dipercaya sebagai antagonis yang kompleks. Luna Maya, meski lebih baik, tampak kurang mendalami emosi Sulastri, terutama dalam adegan yang membutuhkan nuansa tragis. Penggunaan CGI untuk darah dan luka sering kali terlihat murahan, mengurangi intensitas adegan gore yang seharusnya mengerikan. Selain itu, keputusan untuk lebih menonjolkan aksi slasher ketimbang elemen supranatural membuat film ini kehilangan potensi sebagai horor misterius, lebih mirip Chucky daripada The Ring. Ending yang terasa terbuka juga meninggalkan kesan cerita yang kurang tuntas.
Resonansi Budaya dan Kontroversi: Review Dari Film Sumala
Sumala berhasil menarik perhatian karena akarnya dalam legenda urban Semarang, yang pertama kali dipopulerkan melalui konten media sosial. Namun, klaim bahwa cerita ini berdasarkan kisah nyata menuai kontroversi, dengan warga desa seperti di Jlumpang, Semarang, menyangkal kebenarannya. Hal ini menambah daya tarik sekaligus memicu debat tentang autentisitas cerita. Film ini juga berani mengangkat isu berat seperti kekerasan terhadap anak dan diskriminasi terhadap disabilitas, meski penyampaiannya terkadang terasa terlalu eksplisit. Bagi penonton Indonesia, elemen budaya Jawa dan pesan tentang pentingnya parenting menjadi poin yang relevan dan menyentuh.
Kesimpulan: Review Dari Film Sumala
Sumala adalah film horor yang ambisius dengan premis menarik dan penampilan cemerlang dari Makayla Rose Hilli, namun terkendala oleh pacing yang lambat, akting yang tidak merata, dan efek CGI yang kurang memuaskan. Bagi penggemar horor slasher yang menikmati adegan berdarah dan narasi balas dendam, film ini menawarkan pengalaman yang memuaskan, meski tidak terlalu menyeramkan. Namun, untuk penonton yang mengharapkan horor supranatural dengan misteri mendalam, Sumala mungkin terasa kurang memenuhi ekspektasi. Dengan rating 5,8/10 di IMDb dan kesuksesan menarik 1,4 juta penonton di bioskop, film ini membuktikan daya tariknya di pasar Indonesia. Sumala layak ditonton sebagai hiburan horor yang penuh darah, tetapi tidak akan menjadi klasik abadi dalam genre ini.