Review Dari Film Mufasa. Disney kembali mengajak penonton ke savana Afrika dengan Mufasa: The Lion King, sebuah prekuel dari The Lion King (2019) yang mengisahkan perjalanan Mufasa menjadi raja Pride Lands. Disutradarai oleh Barry Jenkins, yang dikenal lewat karya pemenang Oscar Moonlight, film ini menawarkan visual fotorealis yang memukau dan cerita yang berfokus pada ikatan keluarga serta pengorbanan. Meski membawa nostalgia dan keindahan teknis, apakah film ini mampu menyamai keajaiban emosional The Lion King orisinal? Artikel ini akan mengulas kekuatan, kelemahan, dan daya tarik Mufasa: The Lion King sebagai tambahan terbaru dalam warisan Disney. BERITA BOLA
Visual yang Memukau
Salah satu aspek yang langsung mencuri perhatian adalah kualitas animasi fotorealis yang digunakan. Dibandingkan pendahulunya pada 2019, Mufasa: The Lion King menunjukkan peningkatan signifikan dalam rendering bulu, ekspresi wajah, dan lanskap alam. Padang savana, sungai yang mengalir, hingga pegunungan bersalju digambarkan dengan detail yang begitu nyata, seolah penonton sedang menyaksikan dokumenter alam. Kerja sinematografer James Laxton bersama Jenkins menghasilkan komposisi visual yang dinamis, dengan gerakan kamera yang lembut namun epik, terutama dalam adegan aksi seperti penyelamatan Mufasa dari banjir atau pertarungan melawan singa putih yang dipimpin oleh Kiros (diisi suara oleh Mads Mikkelsen).
Namun, kelemahan animasi fotorealis adalah keterbatasan ekspresi emosional. Meski lebih baik dari versi 2019, wajah singa yang terlalu realistis kadang sulit menyampaikan nuansa emosi yang dalam, seperti pada animasi 2D klasik. Hal ini membuat beberapa momen dramatis terasa kurang mengena, terutama saat dialog atau lagu yang seharusnya membangkitkan emosi kuat.
Narasi dan Karakter yang Penuh Makna
Cerita Mufasa: The Lion King berpusat pada perjalanan Mufasa (diisi suara oleh Aaron Pierre) dari anak singa yatim piatu hingga menjadi pemimpin Pride Lands. Disajikan melalui kilas balik yang diceritakan oleh Rafiki (John Kani) kepada Kiara, cucu Mufasa, film ini mengeksplorasi hubungan Mufasa dengan Taka (Kelvin Harrison Jr.), yang kelak menjadi Scar. Ikatan “bersaudara” mereka, yang dibangun melalui lagu I Always Wanted a Brother karya Lin-Manuel Miranda, memberikan dimensi emosional yang kuat, meski beberapa penonton mungkin merasa konflik Taka terasa terburu-buru menjelang akhir.
Karakter pendukung seperti Sarabi (Tiffany Boone) dan Eshe (Thandiwe Newton) menambah kedalaman narasi, dengan penekanan pada tema keluarga, keberanian, dan kerja sama. Namun, kehadiran Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) sebagai pencerita sampingan sering kali terasa mengganggu. Lelucon mereka, yang mencoba menghadirkan humor ala The Lion King orisinal, kerap kali terasa dipaksakan dan memecah fokus dari cerita utama. Di sisi lain, Rafiki menjadi sorotan dengan penggambaran yang bijaksana dan penuh karisma, memperkuat perannya sebagai penyambung warisan.
Musik dan Suasana: Review Dari Film Mufasa
Lagu-lagu karya Lin-Manuel Miranda, seperti We Go Together dan Tell Me It’s You, cukup menarik dengan nuansa Afrika yang kaya, namun tidak berhasil menyamai keabadian karya Elton John dan Tim Rice dari The Lion King 1994. Lagu Bye Bye yang dinyanyikan Kiros terasa kurang pas dengan konteksnya, meski memberikan warna antagonis yang menarik. Musik latar film ini tetap mampu membangun suasana epik, terutama dalam adegan petualangan menuju Milele, sebuah tempat mitis yang menjadi simbol harapan.
Kekuatan dan Kelemahan: Review Dari Film Mufasa
Kekuatan utama film ini terletak pada visualnya yang menakjubkan dan pengembangan karakter Mufasa serta Taka yang cukup menyentuh. Barry Jenkins berhasil menyisipkan sentuhan pribadinya dalam penyutradaraan, terutama dalam adegan aksi dan momen emosional seperti pengorbanan keluarga Mufasa. Dedikasi untuk James Earl Jones, pengisi suara Mufasa dalam versi sebelumnya, juga menjadi sentuhan yang mengharukan.
Namun, film ini tidak lepas dari kelemahan. Alur cerita terkadang terasa terburu-buru, terutama dalam menyelesaikan konflik utama, membuat beberapa momen dramatis kurang berdampak. Inkonsistensi dengan narasi The Lion King orisinal, seperti latar belakang Mufasa yang bukan dari garis keturunan raja, juga dapat mengganggu penggemar setia. Selain itu, pendekatan fotorealis yang memukau secara visual kadang justru menghambat penyampaian emosi yang mendalam, sebuah kekuatan utama animasi tradisional.
Penutup: Review Dari Film Mufasa
Mufasa: The Lion King adalah prekuel yang layak dinikmati, terutama bagi penggemar The Lion King yang ingin menyelami asal-usul Mufasa. Visual yang memukau, akting suara yang solid, dan sentuhan emosional dari Barry Jenkins membuatnya lebih dari sekadar film nostalgia. Meski tidak mencapai puncak keajaiban The Lion King 1994, film ini berhasil menghadirkan kisah yang menghibur dan bermakna tentang kepemimpinan dan keluarga. Cocok untuk ditonton bersama keluarga, Mufasa: The Lion King menawarkan pengalaman visual yang luar biasa, meski sedikit kekurangan dalam hal kedalaman emosional dan orisinalitas. Skor: 7.5/10.