Review Film The Prestige. Oktober 2025, tepat 19 tahun setelah rilis perdananya, film The Prestige karya Christopher Nolan kembali jadi bahan obrolan hangat di kalangan pecinta sinema, terutama setelah debut streaming gratis di Samsung TV Plus awal September dan kembalinya ke Prime Video UK akhir Agustus. Analisis terkini dari analis Morgan Stanley bahkan bandingkan plotnya dengan visi robotika Elon Musk, sementara Penn Jillette—pesulap legendaris—debunk twist ikoniknya di CBR. Dibintangi Hugh Jackman dan Christian Bale sebagai duo pesulap rival, film ini bukan sekadar thriller, tapi meditasi obsesi yang bikin penonton mikir ulang soal ilusi dan identitas. Di era di mana Nolan lagi naik daun pasca-Oppenheimer, The Prestige tetep relevan—dari meme twist di X sampe diskusi Reddit soal “best ending 21st century”. Artikel ini review ulang film klasik ini, dari plot sampe plus-minusnya, biar Anda paham kenapa nonton ulang di 2025 masih worth it. BERITA TERKINI
Ringkasan dari Film Ini: Review Film The Prestige
The Prestige, dirilis 2006, ceritanya pusat di persaingan sengit dua pesulap era Victoria: Robert Angier (Hugh Jackman), mantan asisten yang ambisius, dan Alfred Borden (Christian Bale), partner rahasia yang jenius. Dimulai dari tragedi kematian asisten Angier—Julia—karena trik gagal yang disalahin Borden, keduanya saling sabotase demi rahasia trik “The Transported Man”: teleportasi instan yang bikin penonton terpana. Angier, dibantu insinyur Nikola Tesla (David Bowie), kejar obsesi balas dendam lewat ilusi berbahaya, sementara Borden jaga rahasia keluarga yang tragis.
Film bagi tiga act ala trik sulap: “The Pledge” perkenalin rivalitas, “The Turn” gali misteri, dan “The Prestige” ungkap twist gila soal duplikat dan pengorbanan. Narasi non-linier via diary dan narator Cutter (Michael Caine) bikin penonton tebak-tebakan, campur elemen sci-fi halus dari Tesla’s machine. Endingnya bittersweet: obsesi hancurkan keduanya, tinggalin warisan ilusi yang abadi. Dengan runtime 130 menit, film ini loncat dari drama pribadi ke thriller konspirasi, score David Julyan yang tegang dukung visual gothic London yang moody.
Kenapa Film Ini Sangat Untuk Ditonton: Review Film The Prestige
The Prestige wajib ditonton ulang di 2025 karena Nolan masterclass-nya dalam misdirection—setiap adegan kayak trik sulap yang bikin Anda ulang scene di kepala, mirip analisis Penn Jillette yang bilang twistnya “quietly perfect”. Visualnya timeless: sinematografi Wally Pfister tangkap cahaya gaslamp dan kabut London yang bikin imersif, sementara Bale dan Jackman duel akting yang bikin deg-degan—Bale’s dual role misterius, Jackman’s descent ke kegilaan relatable banget di era hustle culture. Di tengah hype robotika Musk, plot cloning via Tesla’s tech terasa profetik, bikin diskusi X soal “AI ilusi masa depan”.
Pacing-nya ketat tanpa filler: act pertama bangun tension pelan, lalu ledak di twist akhir yang bikin “aha moment” langgeng. Cocok buat pemula sinema Nolan—lebih ringan dari Inception tapi sama pintar—atau veteran yang pengen analisis ulang soal tema pengorbanan demi seni. Streaming di Samsung TV Plus bikin akses mudah, ideal buat marathon malam hujan. Singkatnya, ini film multifungsi yang bikin mikir sambil hibur, pas buat Oktober yang lagi dingin dan pengen cerita pintar tanpa overexplain.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Sisi positif The Prestige kuat: narasi Nolan yang layered bikin rewatch value tinggi—setiap dialog punya double meaning, dari “Are you watching closely?” yang jadi mantra. Karakter development-nya dalam: Angier dari charming jadi tragic, Borden dari dingin jadi sympathetic, sementara supporting cast seperti Scarlett Johansson sebagai asisten misterius tambah nuansa romansa halus. Twist endingnya—duplikat Borden dan tank mayat Angier—tetep satu best di 21st century, seperti CBR sebut, bikin filosofi identitas nempel lama. Di 2025, relevansinya naik dengan isu AI cloning, plus score Julyan yang haunting seimbang gore minim dengan emosi berat. Dampak budaya? Inspirasi Memento sampe Tenet, rating Rotten Tomatoes 77% yang solid karena “haunting obsession tale”.
Tapi, negatifnya ada: pacing awal lambat buat penonton action junkie, bikin 30 menit pertama terasa drag sebelum twist kick in. Beberapa elemen sci-fi Tesla terasa forced, kayak machine yang terlalu magis tanpa explain cukup, sementara female characters underutilized—Johansson dan Rebecca Hall cuma jadi plot device. Ending ambigu soal “who wins” bikin sebagian frustrasi, terutama kalau nonton sekali; Reddit bilang “confusing on first watch”. Di era sensitivitas 2025, tema obsesi destruktif bisa terasa dated tanpa trigger warning. Intinya, plusnya dari intelektual thrill, minusnya dari aksesibilitas—Nolan ambil risiko kompleks, tapi kadang exclude casual viewer.
Kesimpulan
The Prestige di 2025 tetep prestise Nolan yang underrated, dengan ringkasan rivalitas sulap dari Angier ke Borden, alasan ditonton lewat twist genius dan akting duel, plus keseimbangan positif layered narasi dan negatif pacing lambat yang bikin debat abadi. Dari 2006 jadi profetik soal ilusi modern, film ini bukti seni butuh pengorbanan, tapi worth setiap detik. Buat yang belum, stream sekarang di Samsung—siapa tahu, twistnya ubah cara Anda lihat cermin. Di akhir, The Prestige ingatkan: trik terbaik bukan yang dilihat, tapi yang dirasakan. Selamat nonton, dan watch closely.