Review Film “Joker: Folie à Deux”

review-film-joker-folie-a-deux

Review Film “Joker: Folie à Deux”. Satu tahun berlalu sejak “Joker: Folie à Deux” menyapa layar lebar pada Oktober 2024, dan film ini masih jadi bahan obrolan panas di kalangan pecinta sinema. Sekuel dari sensasi 2019 itu, yang membawa Arthur Fleck kembali ke dunia kegilaan, tak lagi sekadar film—ia jadi simbol ambisi yang terpeleset, campuran pujian atas keberanian dan cercaan atas eksekusi. Dengan Joaquin Phoenix yang kembali menghuni peran ikoniknya dan Lady Gaga sebagai pasangan romansa yang eksentrik, cerita ini menyelami pengadilan, ilusi, dan nomor musikal di tengah hiruk-pikuk Arkham Asylum. Di akhir 2025, saat streaming mendominasi, film ini perlahan bangkit dari keterpurukan box office, memicu debat apakah ia masterpiece tersembunyi atau kegagalan epik. Artikel ini mereview ulang, mengupas apa yang membuatnya tetap melekat meski penuh kontroversi. Siap menyelami kegilaan lagi? INFO CASINO

Plot dan Karakter yang Penuh Lapisan: Review Film “Joker: Folie à Deux”

Cerita dimulai dengan Arthur Fleck, si badut tragis, kini terkurung di Arkham menunggu pengadilan atas kekacauan Gotham tahun lalu. Alih-alih aksi heroik, sutradara Todd Phillips memilih jalan introspektif: pengadilan jadi panggung teater absurd, di mana Arthur bertemu Lee, seorang penggemar obsesif yang terinspirasi dari Harley Quinn. Hubungan mereka berkembang lewat imajinasi musikal, di mana realitas dan halusinasi bercampur, mengeksplorasi tema delusi bersama—folie à deux, atau kegilaan yang menular.

Phoenix, seperti biasa, menghidupkan Arthur dengan kerapuhan yang menyayat: senyum paksaannya kini lebih hampa, matanya penuh kerinduan akan penerimaan. Gaga, sebagai Lee, membawa energi liar yang kontras—suara emasnya tak hanya bernyanyi, tapi juga menyuntikkan karisma ganda yang membuat chemistry mereka terasa organik, meski kadang terasa dipaksakan. Karakter pendukung, seperti jaksa Brendan Gleeson yang haus darah, menambah ketegangan politik, mengkritik sistem yang memuja kekerasan. Plotnya tak linier, penuh flashback dan lagu yang memotong narasi, tapi justru di sinilah kekuatannya: ia memaksa penonton mempertanyakan mana yang nyata, menciptakan pengalaman psikedelik yang jarang ditemui di film superhero. Di 2025, dengan maraknya cerita mental health, lapisan ini terasa lebih relevan, meski beberapa bilang terlalu lambat untuk ritme blockbuster.

Elemen Musikal yang Berani tapi Bagi-bagi: Review Film “Joker: Folie à Deux”

Apa yang bikin “Folie à Deux” beda? Musik. Bukan sekadar soundtrack, tapi integrasi penuh: nomor demi nomor, dari “That’s Life” yang ironis hingga lagu orisinal Gaga yang dreamy, mengubah film jadi jukebox musikal ala “La La Land” versi gelap. Pengadilan berubah jadi panggung Broadway, dengan Arthur dan Lee bernyanyi di tengah saksi, mencampur humor hitam dan tragedi. Ini ambisius—Phillips bilang ingin hancurkan ekspektasi fanboy yang haus aksi—dan berhasil di momen-momen tertentu, seperti duet Phoenix-Gaga yang bikin bulu kuduk merinding.

Tapi, elemen ini juga sumber kontroversi utama. Banyak yang merasa musiknya mengganggu alur, terlalu panjang dan kurang sinkron dengan nada muram Joker pertama. Gaga bersinar, tapi Phoenix, yang bukan penyanyi profesional, terdengar mentah—beberapa puji keasliannya, yang lain sebut off-key. Di era TikTok 2025, klip-klip musikal ini viral di media sosial, tapi bukan untuk alasan positif; meme “Joker nyanyi” banjiri timeline, memperkuat narasi flop. Meski begitu, bagi penggemar teater musikal, ini inovasi segar: film superhero jarang berani campur genre begini, dan hasilnya? Pengalaman yang tak terlupakan, walau tak selalu menyenangkan. Secara keseluruhan, musiknya seperti delusi Arthur—indah dari dalam, kacau dari luar.

Reception dan Dampak yang Tak Terduga

Rilisnya tahun lalu langsung jadi badai: box office buka $37 juta di AS, jauh di bawah $100 juta yang diharap, total global cuma $205 juta lawan anggaran $200 juta—kerugian besar yang bikin studio geleng-geleng. Kritikus lebih kejam: skor 31% di Rotten Tomatoes, dengan ulasan sebut “membosankan” dan “pengkhianatan fan”. CinemaScore D, rekor rendah untuk sekuel sebesar ini, bukti penonton keluar bioskop kecewa. Tapi, seperti Joker asli yang naik dari underdog, “Folie à Deux” punya pengikut setia.

Di 2025, narasi bergeser pelan. Streaming bikin akses mudah, dan survei penonton tunjuk 55% kasih rating lebih tinggi daripada awal—banyak yang bilang butuh rewatch untuk pahami kedalaman emosionalnya. Gaga bicara terbuka soal kegagalan, sebut itu “risiko seni”, yang malah tingkatkan simpati. Dampak budayanya? Kostum Harley versi Gaga jadi tren Halloween, dan debat “underrated or overrated” isi forum online. Tak dapat nominasi Oscar besar, tapi Phoenix dapat pujian akting, dan film ini dorong diskusi soal sequel superhero: apakah ambisi lebih penting daripada untung? Di tengah kelelahan franchise, “Folie à Deux” jadi pengingat bahwa kegagalan bisa lahirkan percakapan abadi.

Kesimpulan

“Joker: Folie à Deux” adalah film yang tak mau dilupain—ambisius, cacat, dan penuh jiwa, meski jatuh terpuruk di mata banyak orang. Satu tahun kemudian, ia bukan lagi sekadar flop, tapi pelajaran berharga soal batas seni di dunia komersial. Phoenix dan Gaga bikin layar bergetar, musiknya tantang norma, dan temanya tetap relevan di era ketidakpastian mental. Bagi yang siap telan pil getirnya, ini tontonan wajib; bagi yang cari hiburan ringan, lewati saja. Skor akhir? 7 dari 10—tak sempurna, tapi cukup gila untuk dicinta. Di 2025 ini, saat sinema butuh keberanian, film seperti ini yang bikin kita rindu bioskop sungguhan. Nonton ulang, dan putuskan sendiri: kegilaan atau kejeniusan?

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *