Review Film A Serious Man

review-film-a-serious-man

Review Film A Serious Man. Rilis tahun 2009, A Serious Man tetap jadi salah satu karya paling personal dari duo sutradara Coen bersaudara. Berlatar Minnesota akhir 1960-an, film ini ikuti Larry Gopnik, profesor fisika Yahudi yang hidupnya runtuh bertubi-tubi: istri minta cerai, saudara tinggal di rumah, pekerjaan terancam, dan serentetan musibah kecil yang bikin dia bertanya, “Kenapa Tuhan ngelakuin ini ke gue?” Di 2025, film ini makin sering dibicarakan lagi karena tema eksistensialnya terasa abadi—seolah hidup kita juga cuma serangkaian Schrödinger equation yang tak pernah selesai. REVIEW KOMIK

Cerita yang Gelap tapi Lucu Banget: Review Film A Serious Man

Larry adalah orang baik yang taat, tapi dunia seolah berkonspirasi menghukumnya. Coen bikin plot tanpa villain jelas—semua musibah datang dari hal-hal biasa: surat anonim, tetangga antisemit, anak yang cuma mikirin konser rock. Film dibuka dengan cerita rakyat Yiddish pendek yang misterius (seorang dybbuk atau bukan?), lalu langsung masuk kehidupan Larry yang makin absurd. Tidak ada resolusi rapi—malah diakhiri tornado literal dan metaforis. Justru di situlah kekuatannya: hidup memang sering nggak masuk akal, dan Coen nggak takut nunjukin itu dengan tawa getir.

Penampilan Aktor yang Super Natural: Review Film A Serious Man

Michael Stuhlbarg sebagai Larry Gopnik adalah masterclass akting. Dia mainin orang biasa yang frustrasi dengan ekspresi wajah yang bikin penonton ikut sesak—dari tatapan kosong ke rabbi sampai “kenapa gue?” yang nggak pernah diucap tapi terasa banget. Richard Kind sebagai saudara Arthur yang aneh tapi jenius, Sari Lennick sebagai istri yang dingin, sampai Fred Melamed sebagai Sy Ableman yang menyebalkan tapi entah kenapa karismatik—semua terasa seperti keluarga Yahudi Amerika yang beneran kamu kenal. Bahkan aktor remaja seperti Aaron Wolff (Danny yang cuma mikirin ganja dan konser) dan Jessica McManus (Sarah yang sibuk curi duit buat operasi hidung) berhasil bikin penonton kesel sekaligus sayang.

Gaya Visual dan Humor Khas Coen

Kamera Roger Deakins (sebelum dia menang Oscar berulang kali) bikin suburban Minnesota 1967 terasa dingin dan claustrophobic—rumah-rumah kotak, langit abu-abu, dan close-up wajah Larry yang makin tertekan. Musik Carter Burwell penuh lagu Yiddish dan Jefferson Airplane yang kontras lucu. Humornya khas Coen: kering, canggung, dan sering muncul dari hal paling sepele—seperti Larry ngitung berapa biaya pemakaman kalau dia mati sekarang. Adegan mimpi dan halusinasi jadi bonus surreal yang bikin penonton bertanya, “ini beneran atau cuma di kepala Larry?”

Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi 2025

Kelebihan utama: kejujuran. Film ini nggak kasih jawaban mudah soal penderitaan atau iman. Tiga rabbi yang Larry temui semuanya gagal kasih solusi—satu cerita soal goy’s teeth, satu bilang “lihat parkiran aja”, satu lagi cuma nyanyi. Itu bikin film terasa sangat manusiawi.

Kekurangan? Bisa terasa terlalu lambat atau terlalu “Yahudi banget” buat yang nggak familiar budaya Ashkenazi—banyak referensi Talmud, bar mitzvah, dan humor Yiddish yang mungkin lelet nyantol. Tapi justru itu yang bikin film ini spesial: nggak berusaha menyenangkan semua orang.

Di 2025, A Serious Man terasa makin relevan—dunia penuh ketidakpastian, orang baik sering kena getah, dan jawaban atas “kenapa gue?” tetap nggak ada. Film ini jadi pengingat: kadang hidup cuma serentetan musibah yang nggak perlu dijelasin.

Kesimpulan

A Serious Man bukan film yang bikin kamu keluar bioskop sambil senyum lebar. Tapi dia bakal nempel di kepala berhari-hari, bikin kamu mikir ulang soal hidup, iman, dan betapa absurdnya jadi manusia. Kalau kamu suka film yang cerdas, gelap, lucu, dan nggak kasih jawaban gampang, ini wajib ditonton ulang sekarang juga. Larry Gopnik adalah kita semua—cuma dia lebih berani ngaku kalau dia nggak ngerti apa-apa. Dan mungkin itu satu-satunya kebijaksanaan yang beneran penting.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *