Review Film Thank You for Smoking. Dua puluh tahun setelah debutnya mengguncang dunia perfilman independen, “Thank You for Smoking” kembali menjadi sorotan di Festival Film Internasional Toronto (TIFF) pada Juli 2025. Dalam acara spesial TIFF Lightbox, film satir Jason Reitman ini diputar ulang sebagai bagian dari rangkaian “The TIFF Story”, merayakan warisannya sebagai komedi hitam yang tak lekang waktu. Di tengah kontroversi terkini soal Amazon yang menghapus gambar senjata dari poster film James Bond—mirip sekali dengan adegan editing rokok di film lama yang digambarkan dalam cerita ini—banyak penonton dan kritikus bertanya-tanya: apakah pesan film ini semakin relevan di era sensor digital? Dibintangi Aaron Eckhart sebagai lobi rokok karismatik, film ini bukan hanya tawa pedas tentang industri tembakau, tapi juga cermin gelap soal spin politik dan etika modern. Saat dunia masih bergulat dengan isu regulasi konten, ulang tahun ke-20 ini mengingatkan kita mengapa “Thank You for Smoking” tetap jadi benchmark satire Hollywood yang cerdas. BERITA BOLA
Ringkasan dari Film Ini: Review Film Thank You for Smoking
“Thank You for Smoking” mengikuti perjalanan Nick Naylor, wakil presiden Academy of Tobacco Studies yang jenius dalam membela rokok di tengah badai kritik kesehatan. Sebagai juru bicara Big Tobacco, Nick menghabiskan hari-harinya dengan taktik spin licik: dari pertemuan rahasia dengan “MOD Squad”—kelompok lobi tembakau, alkohol, dan senjata—hingga negosiasi penempatan produk rokok di film Hollywood. Ia berusaha jadi ayah teladan bagi putranya yang berusia 12 tahun, Joey, sambil menavigasi tekanan dari senator anti-rokok Ortolan Finistirre yang ingin pasang label tengkorak di kemasan rokok.
Cerita memuncak saat Nick dikirim ke Los Angeles untuk meyakinkan aktor legendaris yang sakit kanker agar diam soal iklan rokok masa lalu. Di sana, ia terlibat romansa singkat dengan jurnalis ambisius Heather Holloway, yang akhirnya membocorkan rahasia pribadinya. Puncaknya adalah sidang Senat di mana Nick harus membela industri sambil menghadapi penculikan misterius yang membuatnya overdosis nikotin. Dengan dialog tajam dan plot yang berliku, film ini mengeksplorasi bagaimana kata-kata bisa lebih mematikan daripada racun itu sendiri, tanpa pernah menunjukkan satu batang rokok pun yang dinyalakan di layar—sebuah ironis yang sengaja dibuat oleh Reitman.
Apa yang Membuat Film Ini Populer: Review Film Thank You for Smoking
Kesuksesan “Thank You for Smoking” datang dari debut brilian Jason Reitman, putra sutradara Ivan Reitman, yang mengadaptasi novel Christopher Buckley tahun 1994 dengan skrip asli yang segar. Rilis perdana di TIFF 2005 memicu perang tawaran hak distribusi, dimenangkan Fox Searchlight dengan $7 juta—rekor saat itu untuk film independen. Dibintangi Eckhart sebagai Nick yang charming tapi licik, didukung aktor seperti Katie Holmes, William H. Macy, dan Robert Duvall, film ini meraup $39 juta global dari budget $10 juta, menempatkannya sebagai salah satu satir politik terlaris.
Popularitasnya meledak berkat humor gelap yang relatable: adegan Nick meyakinkan “Marlboro Man” pensiun dengan argumen keluarga, atau perdebatan absurd soal peringatan kolesterol di keju Vermont. Di 2025, film ini viral lagi di media sosial, terutama X (dulu Twitter), di mana pengguna membandingkannya dengan kontroversi editing poster Bond—seperti adegan di film di mana rokok dihapus dari western lama. Soundtrack era 1940-1960-an, termasuk lagu “Smoke! Smoke! Smoke! (That Cigarette)”, menambah nuansa nostalgia, sementara produksi uniknya—dibiayai “PayPal Mafia” seperti Elon Musk—memberi aura Silicon Valley yang edgy. Tak heran jika film ini sering disebut sebagai “Juno” atau “Up in the Air” versi awal Reitman, dengan rating 86% di Rotten Tomatoes yang membuatnya wajib tonton bagi penggemar komedi cerdas.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Film ini unggul dalam mengkritik budaya spin tanpa memihak, membuatnya jadi favorit kritikus seperti Roger Ebert yang memujinya sebagai “apresiasi gelap atas sifat manusia”. Performa Eckhart sebagai Nick—karismatik, manipulatif, tapi manusiawi—jadi sorotan utama, sering disebut sebagai peran terbaiknya. Dialog witty seperti “Saya bukan pahlawan, saya hanya salesman” memicu tawa sambil memprovokasi pemikiran soal tanggung jawab konsumen, terutama relevan di era deepfake dan propaganda digital. Dukungan ensemble, dari Cameron Bright sebagai Joey yang polos hingga Sam Elliott sebagai cowboy sakit, menambah kedalaman emosional, sementara sinematografi Reitman yang tajam menangkap esensi Washington D.C. yang licik. Bagi banyak penonton, ini terapi lucu atas kemunafikan politik, dengan pesan netral yang mendorong diskusi etika daripada moralitas hitam-putih.
Di sisi lain, beberapa kritik menyoroti sinisme berlebih yang membuat cerita terasa seperti sketsa sitkom daripada narasi utuh—humornya kadang repetitif, terutama di pertemuan MOD Squad. Ending redemptive Nick, di mana ia tolak tawaran Big Tobacco dan buka firma lobi baru untuk industri ponsel, dianggap terlalu Hollywood dan melunakkan nada gelap novel asli. Penggunaan kata kasar (lebih dari 20 kali f-word) dan tema korupsi bisa terlalu berat untuk penonton muda, sementara satirnya kadang gagal menusuk dalam soal industri rokok—beberapa bilang film ini malah glamorisasi lobi daripada mengutuknya. Meski begitu, kekurangan ini justru bikin film terasa autentik, bukan propaganda anti-rokok yang membosankan.
Kesimpulan
Dua dekade kemudian, “Thank You for Smoking” bukti bahwa satire terbaik adalah yang tak pernah usang—terutama saat isu seperti sensor konten di platform streaming membuat adegan editing rokoknya terasa profetik. Dari debut Reitman yang penuh gebrakan hingga relevansinya di 2025, film ini ajak kita tertawa sambil renungkan: di dunia spin dan lobinya, siapa yang benar-benar “berterima kasih” atas kebohongan manis? Dengan Eckhart sebagai bintangnya, ini bukan sekadar komedi; ia pengingat tajam bahwa pilihan kita, termasuk apa yang kita tonton, punya konsekuensi. Saat TIFF merayakannya, tak ada waktu lebih baik untuk menonton ulang—atau pertama kali—dan bertanya: apakah kita siap hadapi Nick Naylor di kehidupan nyata?