Review Film Parasite

review-film-parasite
Review Film Parasite. Pada November 2025 ini, tepat enam tahun setelah rilisnya, film “Parasite” karya Bong Joon-ho kembali menjadi sorotan global berkat re-screening edisi remastered di festival-festival bioskop independen, memicu gelombang nostalgia dan diskusi baru tentang ketidaksetaraan sosial di era pasca-pandemi. Sebagai satu-satunya film non-bahasa Inggris yang menyabet Oscar Terbaik pada 2020, “Parasite” bukan hanya kemenangan Korea Selatan, tapi juga pukulan tajam ke sistem kelas yang masih relevan hari ini. Kisah keluarga Kim yang miskin menyusup ke dunia Park yang kaya dimulai sebagai komedi hitam, lalu berubah jadi thriller mencekam, menangkap esensi perpecahan masyarakat dengan cerdas dan tak kenal ampun. Dengan durasi 132 menit yang terasa singkat, film ini menggabungkan humor absurd, ketegangan, dan tragedi dalam satu napas, membuatnya abadi. Review ini akan selami elemen-elemennya, dari plot yang brilian hingga dampak budayanya, agar Anda paham kenapa “Parasite” tetap jadi benchmark sinema kontemporer di akhir 2025. INFO CASINO

Plot yang Memikat antara Komedi dan Tragedi: Review Film Parasite

Plot “Parasite” adalah arsitektur sempurna yang dibangun seperti rumah dua lantai keluarga Park—permukaan mengkilap, tapi fondasi retak. Dimulai di apartemen semi-basement keluarga Kim yang lembab dan penuh bau, di mana ayah Ki-taek dan keturunannya berjuang bertahan dengan pekerjaan sambilan, cerita mengalir ke momen kebetulan: putra sulung Kim Ki-woo ditawari les privat oleh teman kaya, membuka pintu penyusupan sistematis. Mereka ganti posisi pelayan, sopir, hingga asisten rumah tangga, dengan rencana licik yang penuh tawa gelap—seperti saat mereka sembunyikan ponsel di tumpukan batu atau ciptakan “hantu” untuk usir pelayan lama.

Pacing-nya jenius: babak pertama penuh satire ringan, mengejek kemewahan Park yang naif, seperti pesta hujan di mana kaya tak paham banjir bagi miskin. Lalu, pivot mendadak di paruh kedua jadi thriller bawah tanah, di mana rahasia meledak seperti bom, ungkap jurang kelas yang tak terjembatani. Twist tengah—tanpa spoiler—ubah nada dari lucu jadi mencekam, dengan adegan pesta yang jadi klimaks ikonik, di mana tawa berubah jeritan. Bong Joon-ho tak beri resolusi mudah; ending ambigu bicara tentang siklus kemiskinan, relevan di 2025 saat inflasi global perlebar celah kaya-miskin. Plot ini tak hanya cerita, tapi alegori tajam—seperti parasit yang tak terlihat tapi menggerogoti, buat penonton gelisah tapi terpikat, dengan runtime yang pas tanpa drag.

Karakter yang Ikonik dan Penuh Lapisan: Review Film Parasite

Karakter di “Parasite” adalah potret manusia yang hidup, di mana setiap peran jadi cermin masyarakat. Keluarga Kim dipimpin Song Kang-ho sebagai Ki-taek, ayah yang lesu tapi penuh martabat tersembunyi—ekspresinya campur bangga dan malu saat “naik kelas” jadi sorotan emosional, ingatkan kita pada orang tua yang rela apa saja demi anak. Choi Woo-shik sebagai Ki-woo bawa kecerdasan licik remaja, sementara Park So-dam sebagai Ki-jung ubah dari gadis santai jadi aktor manipulatif brilian, dengan senyum palsu yang bikin merinding.

Di sisi lain, keluarga Park dipimpin Cho Yeo-jeong sebagai Yeon-gyo, ibu kaya yang polos hingga konyol—ia tak sadar “bau kumuh” yang disebut, simbol ketidaktahuan kelas atas. Lee Sun-kyun sebagai Park Dong-ik tambah dinamika dengan ambisi karirnya yang buta, sementara anak-anak mereka bawa kontras generasi. Jang Hye-jin sebagai housekeeper Moon-gwang curi adegan dengan twist pribadi, ungkap bagaimana korban jadi pelaku. Bong tak buat siapa pun karikatur; bahkan antagonis punya simpati, seperti saat Park keluhkan “bau orang miskin”—garis dialog itu satir tapi manusiawi. Di re-watch 2025, karakter ini terasa lebih dalam, terutama di era media sosial di mana “penyusupan” identitas jadi isu harian, buat penonton lihat diri sendiri di antara mereka.

Sinematografi dan Teknik yang Mengagumkan

Sinematografi “Parasite” adalah mata yang tak berkedip, karya Hong Kyung-pyo yang tangkap kontras visual seperti tema filmnya—cahaya terang taman Park kontras bayang gelap basement Kim, dengan lensa lebar yang buat ruang terasa sesak atau luas secara metaforis. Adegan tangga ikonik, di mana keluarga Kim naik-turun simbol status sosial, difilmkan dengan tracking shot panjang yang bikin napas tertahan, tambah rasa claustrophobia saat rahasia terbongkar.

Sound design Bong Joon-ho brilian: suara hujan deras bukan hanya cuaca, tapi metafora banjir emosional, sementara musik Jung Jae-il yang minimalis—piano sendu dan string tegang—dukung transisi komedi-thriller tanpa dominasi. Editing cepat di pesta akhir ciptakan chaos terkontrol, sementara warna desaturasi di basement kontras vibran di atas tanah, tekankan perpecahan. Di edisi remastered 2025, detail seperti pantulan cahaya di kaca lebih tajam, buat pengalaman bioskop terasa segar. Teknik ini tak showy; ia pelayan cerita, buat “Parasite” bukan hanya dilihat, tapi dirasakan—seperti parasit yang merayap pelan tapi tak terlupakan.

Kesimpulan

“Parasite” tetap jadi mahakarya sinema di November 2025, enam tahun kemudian, dengan re-screening yang bukti daya tahannya sebagai kritik sosial yang tajam tapi menghibur. Plot memikatnya, karakter ikoniknya, dan sinematografi mengagumkannya satukan jadi film yang tak hanya menang Oscar, tapi ubah wacana global tentang kelas. Meski dibuat 2019, relevansinya abadi—di era ketidakpastian ekonomi, ia ingatkan kita jurang tak hilang begitu saja. Bagi yang belum tonton, ini saatnya; bagi yang sudah, re-watch bawa insight baru. Rating: 9.5/10, layak jadi film yang ulang ditonton, karena di balik tawa dan ketakutan, ada cermin jujur tentang kita semua.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *