Review Film Mr. Nobody. Di tengah hiruk-pikuk dunia perfilman yang kini didominasi sekuel superhero dan drama streaming instan, muncul kembali sorotan pada sebuah karya yang pernah hilang di antara tumpukan rilis besar. Film Mr. Nobody (2009), disutradarai Jaco Van Dormael, tiba-tiba naik daun lagi di platform digital sejak awal 2025. Bukan sekadar nostalgia, tapi gelombang diskusi baru di media sosial dan forum sinema yang membuatnya trending. Dengan rating stabil di Rotten Tomatoes mencapai 68% dari kritikus dan skor pengguna IMDb 7.7/10, film ini membuktikan daya tarik abadinya. Mengapa sekarang? Mungkin karena tema pilihan hidup dan realitas bercabangnya terasa relevan di era ketidakpastian pasca-pandemi. Jared Leto sebagai bintang utama, yang kini lebih dikenal lewat peran intens di Morbius atau musik Thirty Seconds to Mars, tampak segar kembali dalam perwujudannya sebagai Nemo Nobody. Ini bukan review biasa; ini catatan kenapa Mr. Nobody layak jadi tontonan wajib bagi siapa saja yang bosan dengan formula hollywood konvensional. BERITA BOLA
Sinopsis Film Ini: Review Film Mr. Nobody
Bayangkan tahun 2092, di mana umat manusia telah mencapai keabadian melalui terapi sel punca, kecuali satu orang: Nemo Nobody, pria berusia 118 tahun yang menjadi manusia fana terakhir di Bumi. Saat sekarat di ranjang rumah sakit, Nemo (diperankan Jared Leto dalam berbagai usia) menjadi pusat perhatian wartawan dan psikiater yang haus cerita. Mereka ingin tahu bagaimana rasanya hidup di era mortalitas, tapi Nemo malah meluncurkan kisah non-linear yang membingungkan sekaligus memukau.
Cerita dimulai dari masa kecil Nemo di tahun 1975, saat orangtuanya bercerai. Di stasiun kereta, bocah berusia 9 tahun itu harus memilih: ikut ibu ke Kanada atau ayah ke Amerika? Pilihan itu jadi titik cabang utama, di mana film menggali realitas paralel. Di satu jalur, Nemo tumbuh dengan ibu, jatuh cinta dengan gadis bernama Elise (Diane Kruger versi muda), tapi kehilangan jejak. Di jalur lain, ia pindah dengan ayah, bertemu Anna (Juno Temple), cinta pertama yang manis tapi tragis. Ada pula cabang ketiga di mana ia menikah dengan Jean (Sarah Polley), wanita ambisius yang membawa kestabilan finansial tapi kekosongan emosional.
Van Dormael tak berhenti di situ. Setiap cabang bercabang lagi: Nemo jadi ilmuwan gagal, pengiklan sukses, atau bahkan pembunuh tak sengaja. Adegan-adegan ini diselingi elemen sci-fi seperti perjalanan waktu dan efek kupu-kupu, di mana satu keputusan kecil mengubah segalanya. Durasi 141 menit terasa seperti labirin Borges bertemu Sliding Doors, tapi dengan sentuhan romantis ala Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tak ada akhir tunggal; film ini berakhir di “titik sempurna” di mana semua kemungkinan bertemu, meninggalkan penonton bertanya: mana yang nyata?
Kenapa Film Ini Seru Ditonton: Review Film Mr. Nobody
Apa yang bikin Mr. Nobody begitu adiktif? Pertama, visualnya luar biasa. Sinematografi Christophe Beaucarne memadukan 35mm klasik dengan efek CGI halus, menciptakan dunia yang seperti mimpi basah Michel Gondry. Bayangkan air terjun bergerak mundur atau gelembung sabun mewakili cabang waktu—setiap frame seperti lukisan bergerak. Soundtrack-nya juga juara: lagu-lagu ikonik seperti “Mr. Sandman” atau “Bizarre Love Triangle” dari Pierre Van Dormael tak hanya pas, tapi memperkuat emosi tanpa terasa dipaksakan.
Kedua, narasinya inovatif. Bukan sekadar plot twist, tapi eksplorasi filosofis tentang determinisme versus kehendak bebas. Nemo bilang, “Setiap jalan adalah jalan yang benar; yang penting adalah akhirnya.” Ini bikin penonton ikut merenung: pilihan apa yang kita lewatkan? Performa Jared Leto brilian—ia berubah dari bocah polos Toby Regbo menjadi pria rapuh, dengan aksen Inggris yang kadang bergeser, justru menambah rasa unreal. Pemeran pendukung seperti Rhys Ifans sebagai ayah eksentrik atau Audrey Tautou sebagai versi dewasa Elise, tambah lapisan kedalaman.
Ketiga, film ini tak takut eksperimental. Ada adegan seks dan kekerasan yang tak grafis tapi provokatif, membahas tema dewasa seperti penyesalan dan kematian. Di 2025 ini, saat AI dan multiverse jadi topik panas, Mr. Nobody terasa seperti prekursor cerdas. Bukan hiburan pasif; ini tantangan intelektual yang rewarding, terutama kalau ditonton ulang. Banyak penggemar bilang butuh dua-tiga kali tayang untuk nangkep semuanya, dan itulah pesonanya—semakin digali, semakin kaya.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positifnya jelas: ambisi naratifnya patut diacungi jempol. Van Dormael sukses gabungkan sci-fi, romansa, dan drama keluarga tanpa terasa pretensius. Tema cintanya universal—cinta tak selalu bahagia, tapi selalu membentuk kita. Visual dan musiknya sering disebut masterpiece, dengan standing ovation 10 menit di Venice Film Festival 2009 sebagai bukti. Ini film yang bikin diskusi seru di kafe atau Twitter, apalagi di era TikTok di mana klip pendeknya viral. Bagi penggemar genre seperti Donnie Darko atau The Fountain, ini surga.
Tapi, tak luput dari kritik. Negatif utama adalah pacing-nya lambat; hampir 2,5 jam terasa bertele-tele bagi yang tak sabar. Beberapa cabang cerita terlalu abstrak, bikin plot terasa meandering tanpa resolusi jelas—seperti filsafat yang tak sampai ke inti. Kritikus bilang ini “terlalu klinis untuk emosional, tak cukup romantis untuk massa, dan tak cukup pintar untuk intelektual.” Akting Leto kadang over-the-top, dan elemen sci-fi-nya kadang terasa gimmick. Untuk penonton muda atau yang suka cerita linier, ini bisa bikin frustasi, seperti teka-teki tanpa petunjuk lengkap.
Kesimpulan: Review Film Mr. Nobody
Mr. Nobody bukan film untuk semua orang, tapi bagi yang siap terjun ke multiverse emosi dan waktu, ini permata tersembunyi yang pantas dirayakan ulang di 2025. Dengan pesan sederhana tapi mendalam—hidup adalah kumpulan “bagaimana kalau” yang tak terhitung—ia ingatkan kita untuk hargai pilihan saat ini. Streaming di Max atau sewa di Fandango, tontonlah malam ini. Siapa tahu, besok pagi Anda bangun dengan perspektif baru. Di dunia yang berubah cepat, film seperti ini abadi: tak ada yang namanya “nobody”, selama kita punya cerita.