Review Film Gangnam Blues. “Gangnam Blues” (2015) adalah film gangster Korea yang langsung jadi cult classic meski rilis hampir sepuluh tahun lalu. Disutradarai Yoo Ha dan dibintangi Lee Min-ho serta Kim Rae-won, film ini mengambil latar Gangnam tahun 1970-an—saat kawasan elite itu masih berupa tanah kosong, lumpur, dan perebutan kekuasaan brutal. Dengan durasi 141 menit, film ini bukan cuma aksi, tapi juga drama politik, persahabatan, dan pengkhianatan yang terasa sangat nyata. Sampai sekarang, kalau bicara film gangster Korea yang “berat”, nama ini selalu masuk daftar teratas. BERITA BASKET
Visual dan Suasana 1970-an yang Hidup: Review Film Gangnam Blues
Film ini berhasil membawa penonton kembali ke era ketika Gangnam masih jadi medan perang developer dan gangster. Set jalanan berdebu, rumah-rumah kumuh, mobil tua, sampai jas kotak-kotak khas tahun 70-an direka ulang dengan detail gila-gilaan. Sinematografinya gelap, penuh bayangan, dan sering pakai warna cokelat-sepia yang bikin suasana terasa kotor sekaligus nostalgik. Adegan pertarungan jalanan tanpa CGI berlebihan—semua pukul, tusuk, dan bacok terasa sakit. Darahnya banyak, tapi tidak murahan; setiap tetes terasa punya bobot.
Akting Lee Min-ho dan Kim Rae-won yang Mengguncang: Review Film Gangnam Blues
Ini pertama kalinya Lee Min-ho lepas total dari image pretty boy. Dia memainkan Jong-dae, anak jalanan yang keras tapi masih punya hati, dan berhasil bikin penonton percaya dia bisa membunuh sekaligus menangis dalam satu adegan. Lawan mainnya, Kim Rae-won sebagai Baek Yong-ki, justru kebalikannya—dingin, ambisius, dan siap mengkhianati siapa saja demi naik. Chemistry keduanya adalah nyawa film ini. Adegan mereka saling tatap sebelum bertarung atau saling tolong di masa kecil selalu bikin penonton sesak. Supporting cast juga kuat, terutama Jung Jin-young sebagai bos mafia yang karismatik tapi kejam.
Cerita yang Kelam dan Realistis
Berbeda dengan film gangster biasa yang glamor, “Gangnam Blues” berani tunjukkan sisi paling kotor politik dan bisnis properti. Di sini, gangster cuma pion; yang benar-benar menentukan adalah politisi dan pengusaha yang duduk di ruang ber-AC. Tema persahabatan yang hancur karena uang dan kekuasaan disampaikan tanpa basa-basi. Tidak ada ending bahagia, tidak ada pembalasan heroik—hanya dua sahabat yang akhirnya saling bunuh demi bertahan hidup. Plot twist di 30 menit terakhir cukup bikin orang terdiam di bioskop, dan adegan akhir di tengah hujan deras masih sering disebut-sebut sebagai salah satu penutup paling tragis di perfilman Korea.
Kesimpulan
“Gangnam Blues” bukan film yang mudah ditonton santai sambil makan popcorn. Dia berat, penuh darah, dan meninggalkan rasa pahit yang lama. Tapi justru itu kekuatannya: ia berhasil menggabungkan aksi brutal, drama emosional, dan kritik sosial dalam satu paket yang solid. Bagi yang suka film seperti “New World”, “A Bittersweet Life”, atau “Friend”, ini wajib masuk watchlist. Hampir sepuluh tahun berlalu, film ini tetap jadi salah satu film gangster Korea paling underrated sekaligus paling berkesan. Kalau belum pernah nonton, siapkan hati—karena setelah kredit bergulir, Anda mungkin butuh waktu lama untuk move on dari Jong-dae dan Yong-ki.