Review Film Catch Me If You Can. Dua puluh tiga tahun setelah rilisnya, Catch Me If You Can tetap jadi film yang bikin penontonnya tersenyum lebar sambil geleng-geleng kepala. Karya Steven Spielberg tahun 2002 ini, berdasarkan kisah nyata Frank Abagnale Jr., baru saja dapat angin segar di 2025: adaptasi mini-series di IMDb yang tayang Mei lalu, plus produksi teater musikal yang dijadwalkan Oktober di Marriott Theatre—bikin judul ini trending lagi di media sosial. Dengan Leonardo DiCaprio sebagai si pemuda penipu jenius dan Tom Hanks sebagai agen FBI yang ngotot, film ini gross $352 juta global dari budget $52 juta, dan rating 96% di Rotten Tomatoes yang bikin banyak kritikus sebut sebagai “minor masterpiece” Spielberg. Di era di mana scam online marak, cerita era 1960-an ini terasa relevan: gimana satu orang bisa tipu sistem besar dengan pesona dan keberanian doang. Bukan cuma hiburan ringan, tapi juga cermin soal keluarga retak dan pencarian identitas. Saat film-film biografi makin didominasi drama berat, Catch Me If You Can ingetin kita bahwa tawa dan ketegangan bisa jalan bareng. Artikel ini kupas ringkasan, alasan hits, plus plus-minusnya, biar kamu langsung replay malam ini. BERITA VOLI
Apa Ringkasan Singkat dari Film Ini: Review Film Catch Me If You Can
Catch Me If You Can ikutin Frank Abagnale Jr., remaja 16 tahun yang hidupnya jungkir balik gara-gara orang tuanya cerai. Ayahnya, Frank Sr. (Christopher Walken), yang dulu jadi idola dengan trik penipuan kecil-kecilan, dorong Frank Jr. buat cari jalan pintas di dunia yang kejam. Mulai dari pemalsuan cek sederhana, Frank eskalasi jadi penipu profesional: dia pura-pura jadi pilot Pan Am, dokter di rumah sakit Georgia, sampe jaksa federal di Louisiana—semua sebelum umur 19. Motivasinya campur: duit cepat buat hidup mewah, tapi lebih dalam, ini cara dia rekonstruksi keluarga yang hilang, bayangin dirinya sebagai versi sukses ayahnya.
Konflik utama datang dari Carl Hanratty (Tom Hanks), agen FBI kesepian yang obsesi nangkap Frank. Chase mereka lintas negara—dari New York sampe Prancis—penuh momen lucu, seperti Frank kabur dari penjara dengan trik drama, atau Hanratty telpon Frank pas Natal pura-pura jadi temen lama. Cerita dibuka dengan Frank ditangkap di TV show To Tell the Truth, lalu flashback ke awal petualangannya. Endingnya bittersweet: Frank ditangkap, tapi Hanratty kasih dia kesempatan kerja bareng FBI, ubah “penjahat” jadi konsultan anti-penipuan. Durasi 141 menit ini campur genre crime, comedy, drama—fokus pada pesona Frank yang bikin korban rela ditipu, tapi juga sentuh tema kesepian di balik topengnya. Berdasarkan memoar asli, film ini kompres enam tahun kekacauan jadi narasi lincah yang nggak pernah bosenin.
Apa yang Membuat Film Ini Sangat Populer
Kesuksesan Catch Me If You Can nggak cuma dari box office, tapi dari cara Spielberg bikin cerita penipuan terasa seperti pesta. Pertama, chemistry DiCaprio-Hanks: Leo yang masih 27 tahun main remaja charming tapi rapuh, sementara Hanks kasih Hanratty vibe obsesif tapi relatable—seperti kucing kejar tikus yang malah jadi duo ayah-anak. Di IMDb, user reviews sebut ini “film paling fun Spielberg post-2000,” dengan 8.1/10 dari jutaan votes. Latar 1960-an yang colorful—mobil klasik, jet-set glamour, soundtrack John Williams yang swing—bikin era pra-digital terasa nostalgik, apalagi pas pandemi bikin orang rindu petualangan offline.
Cerita true crime yang “too good to be true” juga magnet kuat: Frank tipu $4 juta lewat cek palsu, tapi filmnya tonjolkan sisi human—bukan glorifikasi kejahatan, tapi soal trauma keluarga yang dorong dia kabur. Di Reddit, thread 2024 tanya kenapa ini film Spielberg paling ditonton di Letterboxd, jawabannya: rewatchability tinggi, cocok buat malam santai. Adaptasi Broadway 2011 yang menang Tony Award tambah hype, dan di 2025, mini-series baru bikin pencarian Google naik 40%. Kritikus seperti Roger Ebert puji “effortlessly watchable,” sementara fans bilang ini “comfort movie” yang campur tawa, suspense, dan hati. Tak heran kalau streaming di Netflix dan Prime Video sering top chart—bukti kalau pesona abadi nggak butuh sequel.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Catch Me If You Can punya banyak kekuatan yang bikin dia standout. Arah Spielberg top: pacing cepat tanpa filler, cinematography Janusz Kaminski yang bikin 1960-an hidup dengan warna vibrant dan angle dinamis—seperti scene Frank “terbang” gratis di pesawat, penuh euforia. Acting-nya brilian: DiCaprio kasih Frank lapisan emosi di balik senyum nakal, Walken curi scene sebagai ayah tragis yang dapat Oscar nom, dan Amy Adams debut manis sebagai pacar polos. Humornya cerdas—dari trik Barry Allen (referensi Flash) sampe dialog Hanratty yang kering—campur suspense chase yang bikin jantung deg-degan. Tema keluarga retak ngena banget, mirip pengalaman Spielberg sendiri, bikin film ini lebih dari caper biasa: pesan soal redemption dan koneksi manusiawi. Di Rotten Tomatoes, 96% critics score bukti kualitasnya, plus moral akhir yang positif—kejahatan bisa diubah jadi kebaikan.
Tapi, nggak luput kritik. Panjangnya 141 menit kadang terasa bertele, terutama bagian flashback keluarga yang Spielberg bumbui sentimental berlebih—seperti Ebert sebut “not a major film,” lebih ke hiburan daripada depth. Akurasi fakta diraguin: memoar Frank banyak dibesar-besarkan, dan filmnya skip dampak korban penipuan, bikin Frank keliatan terlalu simpatik—seperti ulasan Common Sense Media bilang, glorifikasi scam bisa misleading buat remaja. Wanita di film mostly trope: Adams cuma “love interest,” kurang agency, yang dari sudut feminist terasa outdated. Beberapa scene, seperti Frank sebagai dokter, terlalu ringan tangani tanggung jawab nyawa. Meski begitu, minus ini nggak rusak keseluruhan—film ini tetep fun, tapi lebih nikmat kalau liat sebagai fiksi inspired-true daripada doku.
Kesimpulan: Review Film Catch Me If You Can
Catch Me If You Can adalah contoh sempurna gimana Spielberg ubah kisah gila jadi hiburan abadi—dari ringkasan chase lintas benua, popularitas berkat cast ikonik dan vibe nostalgik, hingga kekuatan acting minus sentimental over, film ini layak jadi klasik yang nggak pudar. Di 2025, saat dunia penuh hoax digital, cerita Frank ingetin: pesona dan kebohongan bisa bawa jauh, tapi keluarga dan kejujuran yang beneran selamatkan. Kalau kamu belum nonton, mulai sekarang—siapa tahu, besok kamu nemu bakat tersembunyi. Rating: 8.5/10, wajib buat fans crime comedy yang suka tawa sambil mikir.