Review Film Godzilla VS Kong

review-film-godzilla-vs-kong

Review Film Godzilla VS Kong. Pada September 2025 ini, saat bioskop masih dipenuhi sekuel dan reboot yang mencoba merebut perhatian, “Godzilla vs. Kong” tetap menjadi benchmark bagi film monster blockbuster yang tak lekang waktu. Dirilis empat tahun lalu pada Maret 2021 oleh Legendary Pictures dan Warner Bros., film arahan Adam Wingard ini menandai puncak dari MonsterVerse—seri yang dimulai dengan “Godzilla” 2014 dan “Kong: Skull Island” 2017. Dengan budget produksi mencapai 155-200 juta dolar, film berdurasi 1 jam 53 menit ini tak hanya mempertemukan dua ikon kaiju legendaris, tapi juga membuka Hollow Earth, dunia bawah tanah misterius yang penuh keajaiban. Dibintangi Alexander Skarsgård sebagai Nathan Lind, Rebecca Hall sebagai Ilene Andrews, Millie Bobby Brown sebagai Madison Russell, dan Brian Tyree Henry sebagai Bernie Hayes, film ini meledak di tengah pandemi, mengumpulkan 470 juta dolar global—rekor box office saat itu—sambil jadi pelopor streaming di HBO Max. Kini, dengan sekuel “Godzilla x Kong: The New Empire” yang sukses tahun lalu, “Godzilla vs. Kong” kembali dibahas sebagai fondasi yang solid, mengingatkan penonton bahwa di era CGI canggih, esensi hiburan monster masih soal pertarungan epik dan nostalgia sederhana. Bagi penggemar, film ini seperti reuni lama yang penuh ledakan, di mana Godzilla dan Kong bukan sekadar raksasa, tapi simbol kekuatan alam yang tak terbendung. BERITA BOLA

Ringkasan Singkat Film Ini: Review Film Godzilla VS Kong

“Godzilla vs. Kong” mengikuti petualangan dua titan legendaris yang bentrok karena salah paham, sementara umat manusia berjuang bertahan di tengah kekacauan. Cerita dimulai di Skull Island pasca-badai dahsyat, di mana Kong dipindahkan ke fasilitas penelitian Monarch di bawah kubah VR raksasa. Ilene Andrews, ilmuwan antropologi, dan putrinya yang tuli Jia (Kaylee Hottle), membentuk ikatan unik dengan Kong melalui bahasa isyarat Iwi kuno. Sementara itu, Godzilla tiba-tiba menyerang fasilitas Apex Cybernetics di Pensacola, dipicu oleh sinyal misterius yang dianggap ancaman. CEO Apex, Walter Simmons (Demián Bichir), merekrut Nathan Lind, ahli geologi eksplorasi, untuk memimpin ekspedisi ke Hollow Earth—dunia inti bumi yang konon rumah asal titan—menggunakan kapal raksasa bernama Hollow Earth Aerial Vehicle (HEAV). Madison Russell, bersama sahabinya Bernie Hayes yang paranoid, menyusup ke Apex setelah mendengar rahasia gelap perusahaan itu.

Perjalanan ekspedisi membawa Kong ke permukaan, memicu konfrontasi pertama dengan Godzilla di lautan, di mana keduanya bertarung sengit di atas kapal perang. Keduanya selamat dan melanjutkan ke Hollow Earth, di mana mereka menemukan sumber energi tak terbatas yang ternyata dimanfaatkan Apex untuk membangkitkan Mechagodzilla—robot raksasa yang dikendalikan oleh sinyal dari Ghidorah. Mechagodzilla bangkit di Hong Kong, menghancurkan kota dengan kekuatan laser dan ekor berputar. Kong, yang terluka parah setelah bertarung Godzilla lagi, bergabung dengan Godzilla untuk melawan robot itu, dibantu Jia yang memanggilnya melalui bahasa isyarat. Pertarungan klimaks penuh ledakan, di mana Godzilla dan Kong bekerja sama, dengan bantuan kapak energi dari Hollow Earth yang digunakan Kong. Film berakhir dengan keduanya berpisah damai—Godzilla menguasai lautan, Kong mengklaim Hollow Earth—sementara umat manusia merayakan keseimbangan baru. Narasi cepat, penuh aksi, tapi sarat dengan elemen konspirasi korporat yang mengikat MonsterVerse ke cerita lebih besar.

Kenapa Film Ini Sangat Populer

Popularitas “Godzilla vs. Kong” tak datang dari plot rumit, tapi dari janji sederhana: dua monster raksasa bertarung tanpa ampun, disajikan dengan skala Hollywood megah. Dirilis di puncak pandemi, film ini jadi pelarian sempurna—mengumpulkan 470 juta dolar worldwide, termasuk 100 juta di AS saja, rekor pandemi saat itu. Di HBO Max, ia jadi peluncuran terbesar sepanjang sejarah platform, dengan jutaan views dalam hari pertama, membuktikan daya tariknya di era streaming. Kritikus di Rotten Tomatoes beri skor 75%, dengan konsensus memuji sebagai “smash-’em-up monster flick” yang tepat sasaran, sementara audiens beri 92%—bukti cinta penggemar kaiju. Mengapa? Pertama, visual effects-nya luar biasa: CGI dari ILM membuat Godzilla terlihat megah, Kong lincah seperti atlet, dan Hollow Earth seperti planet asing yang hidup. Pertarungan ikonik—dari lautan malam hingga jalanan Hong Kong—dirancang untuk layar lebar, dengan suara bass yang menggelegar dan koreografi brutal yang terinspirasi gulat profesional.

Kedua, timing sempurna: setelah “Godzilla: King of the Monsters” 2019 yang penuh titan, film ini penuhkan ekspektasi crossover sejak 1962. Penggemar lama Toho dan Hollywood merayakannya sebagai homage, sementara generasi baru temukan kesenangan konyolnya—Kong minum bir raksasa atau Godzilla naik tangga gedung. Media sosial meledak: TikTok penuh edit pertarungan, Reddit diskusikan lore Hollow Earth, dan meme Mechagodzilla banjiri Twitter. Di 2025, popularitasnya bertahan berkat sekuel yang sukses, plus rilis ulang 4K dan merchandise. Bagi banyak orang, film ini seperti pesta kaiju: tak perlu mikir dalam, cukup nikmati kehancuran kota sebagai katarsis pasca-pandemi. Hasilnya, ia jadi fondasi MonsterVerse yang kini bernilai miliaran, membuktikan monster lama masih bisa kuasai box office baru.

Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini: Review Film Godzilla VS Kong

“Godzilla vs. Kong” punya kekuatan yang membuatnya tak terlupakan, tapi juga kelemahan yang bikin beberapa penonton geleng-geleng. Di sisi positif, aksi dan visual adalah bintang utama. Sutradara Adam Wingard, dikenal dari “The Guest”, injeksi energi segar dengan koreografi pertarungan yang dinamis—Godzilla vs. Kong di lautan seperti balet destruktif, penuh slow-motion dan sudut kamera inovatif. Efek CGI kelas dunia: tekstur sisik Godzilla realistis, bulu Kong halus, dan Mechagodzilla punya desain retro-futuristik yang keren. Skala Hollow Earth, dengan kristal bercahaya dan bioma aneh, beri rasa petualangan seperti “Avatar” versi monster. Karakter pendukung seperti Jia dan Bernie beri sentuhan manusiawi—bahasa isyarat Jia tambah inklusif, sementara humor Bernie (Brian Tyree Henry) ringankan suasana. Secara keseluruhan, film ini seru sebagai popcorn flick: runtime 113 menit tak pernah membosankan, penuh ledakan dan “wow” moment yang bikin penonton bersorak di bioskop.

Namun, sisi negatifnya tak bisa diabaikan, terutama plot dan karakter manusia yang terasa seperti pengisi. Cerita terlalu cepat dan klise: konspirasi Apex prediktabel, dialog kaku seperti “Kita harus ke inti bumi!” tanpa penjelasan ilmiah yang meyakinkan. Karakter utama seperti Madison (Millie Bobby Brown) dan Nathan (Alexander Skarsgård) kurang berkembang—mereka hanya reaksi terhadap monster, tanpa arc emosional mendalam. Beberapa kritik soroti representasi: Jia sebagai satu-satunya POC signifikan terasa tokenis, sementara villain korporat Apex kurang nuansa. Kekerasan berlebih—kota hancur, darah hijau monster—bisa overwhelming untuk penonton muda, meski rated PG-13. Sound design hebat, tapi musik Hans Zimmer terlalu generik, tak seikonik skor sebelumnya. Singkatnya, kekurangan ini buat film terasa seperti video game cutscene: visual top, tapi narasi kurang substansi.

Kesimpulan: Review Film Godzilla VS Kong

“Godzilla vs. Kong” adalah bukti bahwa film monster tak perlu rumit untuk jadi legenda—cukup dua raksasa bertarung, kota runtuh, dan hati penonton berdegup kencang. Dari ringkasan petualangan Hollow Earth hingga popularitasnya yang lahir dari pandemi, film ini unggul di aksi brutal dan CGI memukau, meski plot tipis dan karakter datar jadi batu sandungan. Di September 2025, saat MonsterVerse terus berkembang, Wingard beri kita hiburan murni yang ajak kita lupakan masalah dunia luar, setidaknya untuk dua jam. Jika Anda belum tonton ulang, nyalakan HBO Max sekarang—mungkin Godzilla dan Kong akan ingatkan bahwa kadang, pertarungan terbaik adalah yang bikin kita tersenyum lebar.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *